Minggu, 31 Oktober 2010

DBD di Indonesia


Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular yang ditandai demam mendadak, perdarahan di kulit maupun bagian tubuh lainnya, dapat menimbulkan shock atau renjatan, dan kematian. Penyakit ini setidaknya telah menimbulkan berbagai keresahan di masyarakat hampir tiap tahunnya khususnya di Kecamatan Beiji Kota Depok dikarenakan akibatnya yang mematikan dan menular terhadap banyak orang. Demam berdarah disebabkan oleh virus dengue ditularkan oleh nyamuk Ae. Aegypti  yang hidup di tempat – tempat terdapat genangan air tidak beralaskan tanah serta tempat sampah rumah tangga, termasuk di dalam ban – ban bekas, kaleng bekas, bekas wadah air mineral dan tatakan vas bunga.

Selain merugikan bagi kesehatan, demam berdarah dapat mengakibatkan kerugian secara finansial dikarenakan besarnya biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh setiap keluarga untuk kesembuhan dari penyakit tersebut. Studi yang dilakukan oleh WHO Scientific Working Group (2006) memberikan gambaran bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan DBD di Asia Tenggara mencapai US$139/pasien, atau setara dengan Rp 1.320.500,- pada kurs 1 US$ = Rp 9500,-. Studi yang dilakukan oleh Clark dkk di RS Provinsi Kamphaeng Phet di Thailand (2005) juga menunjukkan bahwa keluarga yang anggotanya ada yang menderita DBD harus mengeluarkan uang sebanyak USD 61 (kurang lebih Rp. 580.000,-), ditambah  hilangnya waktu produktif seseorang yang diukur dengan disability adjusted life years (DALY’s). Selain beban yang langsung ditanggung masyarakat, pemerintah juga memberikan subsidi perawatan sebesar USD 244 per pasien. Oleh karenanya ketika terjadi KLB DBD, Pemerintah Thailand harus mengeluarkan biaya sebesar USD 12,6 juta (setara dengan Rp 125 milyar).

Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta. Namun pada tahun 1994  telah menyebar di 27 propinsi di Indonesia, dan 12 propinsi di antaranya dalam status kejadian luar biasa (KLB) (Depkes, 2004). Kejadian Luar Biasa (KLB) terbesar terjadi pada tahun 1998 dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate/CFR = 2 %. Pada tahun 1999 Incidence Rate DBD menurun tajam sebesar 10,17 %, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000), 21,66 (tahun 2001), 19,24 (tahun 2002) dan 23,87 (tahun 2003).

Jumlah kasusnyapun cenderung meningkat. Pada tahun 1996 jumlah penderita DBD di Indonesia sebanyak 45.548 dan 1234 penderita di antaranya meninggal. Sepuluh tahun kemudian (2006), terjadi peningkatan lebih dari 2 kali lipat menjadi 111.730 kasus, dengan 1152 penderita meninggal. Kini kasusnya sudah menyebar ke semua daerah dan menunjukkan peningkatan jumlah kasus maupun case fatality rate (CFR) yang signifikan dari tahun ke tahun. Sampai dengan triwulan pertama 2007 dilaporkan sudah ada 8019 kasus dan 144 di antaranya meninggal. Jumlah kasus tersebut meningkat sangat cepat, sehingga awal Juli 2007 jumlah kasusnya sudah mencapai lebih dari 90 ribu dan CFR nya > 1%. Di Indonesia, dua provinsi yang kasus DBD nya tertinggi adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Berbagai Upaya pemberantasan dan pencegahan penyakit DBD telah dilakukan oleh pemerintah, meskipun hasilnya masih belum seperti yang diharapkan. Pada tahun 2004, Departemen Kesehatan RI mencanangkan program penanggulangan DBD yang berisi 5 target pencapaian, yaitu:
  1. Penanggulangan KLB DBD (tahun 2004) selesai dalam dalam waktu 3 bulan.
  2. Penurunan insidens kasus DBD sebesar 90% dari waktu KLB DBD.
  3. Case fatality rate (CFR) < 1%.
  4. Angka kasus tahun 2004 kurang dari kasus 2003 (<35.000), dan.
  5. Kasus pada tahun 2005 kurang dari 10.000.

Untuk itu Pemerintah Republik Indonesia akan menyediakan anggaran hingga 50 milyar rupiah untuk melakukan kampanye pencegahan demam berdarah.  Namun realisasinya tidak seperti yang direncanakan, sebab dana rutin pemerintah pusat untuk program DBD hanya Rp 5 miliar dengan perincian Rp 4 miliar untuk pengasapan dan Rp 1 miliar untuk pembelian larvasida. Adapun dana untuk penyuluhan PSN 3M diintegrasikan ke dalam anggaran pusat promosi kesehatan, yang pada tahun 2004 besarnya Rp 7– 9 miliar setahun (www.gizi.net 5 Maret 2004).

Oleh karena itu kegiatan penyuluhan tidak berjalan. Akibatnya kasus DBD justru terus meningkat. Laporan WHO tahun 2005 menunjukkan bahwa  jumlah kasus sepanjang tahun 2004 mencapai 78.690 dan 954 di antaranya meninggal (CFR=1.2%). Kejadian luar biasa mencapai puncaknya pada bulan Februari dan Maret. Dalam kurun waktu Desember 2004 sampai dengan Februari 2005 di 30 provinsi Indonesia dilaporkan terjadi 10.517 kasus dengan kematian mencapai 182 (CFR=1.73%). Daerah yang paling tinggi KLB nya adalah DKI Jakarta (2768 kasus dan CFR=0.76%) serta diikuti Jawa Barat (1863 kasus dan CFR=2.84).

1 komentar:

  1. ingin wujudkan impian anda , raih kesempatan dan menangkan ratusan juta rupiah hanya di ionqq,silakan invite
    pin bb#58ab14f5

    BalasHapus